Makalah Non Akademis (Teori Organisasi Umum 2 - Tugas Non Akademis Jilid II)

T U G A S N O N A K A D E M I S

Meningkatkan Daya Beli Masyarakat Dengan Program Kredit Usaha Rakyat


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester (4) Empat Mata Kuliah Teori Organisasi Umum 2 Oleh,
Nama : Restu Basar Zaini
NPM : 111 086 10

J U R U S A N S I S T E M I N F O R M A S I
F A K U L T A S I L M U K O M P U T E R
U N I V E R S I T A S G U N A D A R M A
B E K A S I
2 0 1 0

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah Tugas Non Akademis ini, dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Meningkatkan Daya Beli Masyarakat Dengan Program Kredit Usaha Rakyat” ini, bertujuan untuk seluk beluk terbentukny, iplementasi KUR dari tahun 2008 sampai 2009, hingga pada masalah – masalah yang muncul di daerah.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Teori Organisasi Umum 2, Bp. Nurhadi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.



Bekasi, April 2010


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 5 - PERILAKU PRODUSEN
Perilaku Konsumen
Produsen Dan Fungsi Produksi
Produksi Optimal
Least Cost Combination
Soal Pilihan Ganda
Kunci Jawaban
BAB 6 & 7 - ONGKOS DAN PENERIMAAN
Macam-macam Ongkos
Kurva Ongkos
Penerimaan (Revenue)
Macam-macam Ongkos
Pendekatan Total
Perdekatan Margnianl.
Perdekatan Rata-rata
Soal Pilihan Ganda
Kunci Jawaban
BAB 8 & 9 - STRUKTUR PASAR
Pasar Persaingan Sempurna
Pasar Monopoli
Pasar Monopolistis
Pasar Oligopoli
Soal Pilihan Ganda
Kunci Jawaban

PENDAHULUAN

Dalam sidang Kabinet Paripurna 13 Januari 2009, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat memaparkan Isu Strategis Kesejahteraan Rakyat. Salah satu isu yang memerlukan perhatian di tahun 2009 adalah Isu Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran. Isu penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran menjadi isu yang utama dan sangat penting karena pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukupbanyak, yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sementara itu jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%). Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kebijakan Pemerintah (RKP) tahun 2009 mengambil tema “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan”. Dalam RKP tahun 2009, angka kemiskinan ditargetkan turun menjadi 31 juta jiwa (14 %), dan angka pengangguran ditargetkan turun menjadi 7,8 juta jiwa (7%). Pencapaian target tersebut dilakukan melalui upaya-upaya perlindungan dan keberpihakan terhadap rakyat miskin, peningkatkan akses dan mutu pelayanan dan infrastruktur dasar, serta peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat, yang secara operasional dilakukan dalam tiga klaster program penanggulangan kemiskinan.

Klaster pertama, yakni dengan memberikan bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Klaster kedua, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Klaster ketiga, Program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Klaster Pertama Pada tahun 2008, subsidi pemerintah untuk Program Raskin mencapai Rp. 11,66 triliun, dengan sasaran 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). Realisasi nasional s.d. 31 Desember 2008 mencapai 3.217.680 ton (96,27%) dari pagu nasional sebesar 3.342.500 ton. Berdasarkan pencapaian pada tahun 2008 tersebut, untuk tahun 2009 pemerintah mengalokasikan subsidi sebesar Rp. 12,9 triliun, dengan data kelompok sasaran baru yang sudah diverifikasi. Untuk mendukung program ini, pemerintah daerah diminta juga untuk mengalokasikan anggaran guna membantu pendistribusian dari Desa/Kelurahan ke tingkat RT/RW. Untuk Program BLT, sampai dengan 5 Januari 2009 telah direalisasikan anggaran sebesar Rp. 12.028 triliun dan penyaluran kepada 18.759.129 RTS dari total alokasi 19.020.763 rumah tangga sasaran (RTS), sehingga daya serap Program BLT pada tahun 2008 sebesar 98,62%.

Pada tahun 2009, BLT akan diberikan lagi hanya untuk 2 (dua) bulan yaitu Januari dan Februari. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada tahun 2008 mencakup anggaran sebesar Rp. 4,6 triliun, dengan jumlah kunjungan peserta Jamkesmas rawat jalan sebanyak 24.961224 orang, kunjungan peserta Jamkesmas rawat inap sebanyak 987.668 orang, peserta yang dirujuk dari Puskesmas ke Rumah Sakit sebanyak 1.075.156 orang, kunjungan persalinan Jamkesmas di Rumah Sakit sebanyak 29.720 orang, dan pasien Jamkesmas yang dirawat di UGD sebanyak 89.869 orang. Untuk memperkuat Jamkesmas, pada tahun 2009 pemerintah meningkatkan alokasi anggaran menjadi Rp. 7,2 triliun, serta mengajak Pemerintah Daerah untuk cost sharing menangani Jamkesmas. Pada tahun 2008, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan mencapai Rp. 23,7 triliun untuk 35,8 juta murid sekolah SD/SMP. Rata-rata per siswa tingkat SD memperoleh pembiayaan sebesar Rp. 254.000/murid/tahun dan untuk SMP sebesar Rp. 354.000/murid/tahun. Angka partisipasi kasar wajib belajar SD telah mencapai 114% dan SMP mencapai 95%. Untuk melanjutkan pencapaian sasaran wajib belajar sampai SMP untuk seluruh Anak Indonesia.

Maka pada tahun 2009 pemerintah kembali melanjutkan kebijakan BOS dengan peningkatan dana BOS per siswa tingkat SD sebesar Rp. 400.000/murid/tahun dan bagi siswa SMP sebesar Rp. 575.000/murid/tahun. Di samping kebijakan BOS, pemerintah juga berupaya menyelesaikan pengangkatan 163.565 Guru Honorer menjadi Guru Tetap (sebagai catatan, pada kurun 2005 2008 telah selesai pengangkatan sebanyak 901.607 orang guru tetap), dan pengadaan 788.400 komputer dengan biaya Rp. 2.47 triliun untuk siswa SMP dan SMA.

Klaster Kedua (PNPM Mandiri) PNPM Mandiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja (infrastruktur, ekonomi produktif, dan pelatihan ketrampilan. Jumlah penerima PNPM Mandiri pada akhir Oktober 2008 di 3999 kecamatan mencakup 47.954 desa. Jumlah anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang sudah disalurkan sampai Mid-November 2008 sebesar Rp. 10 triliun (72,94%) dari Rp. 13,7 triliun. Jumlah peserta aktif PNPM Mandiri sejak awal mencapai 41,3 juta orang dengan 14,1 juta orang terlibat langsung pada tahun 2008.

Pada tahun 2009, direncanakan penerima PNPM Mandiri di 6408 kecamatan dengan anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp. 11.01 triliun. Telah disiapkan pula tambahan Rp. 5 triliun dengan prioritas untuk masyarakat pesisir, desa tertinggal, dan sentra-sentar yang akan banyak terdapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan kebijakan tersebut, PNPM Mandiri tahun 2009 diharapkan dapat membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar lagi. Untuk mendukung implementasi PNPM Mandiri, audit pelaksanaan PNPM Mandiri dilaksanakan oleh Auditor Independen yang didukung oleh Lembaga Donor.

Klaster Ketiga (Kredit Usaha Rakyat). Kredit Usaha Rakyat (KUR) bertujuan untuk memberikan kesempatan dan membuka akses bantuan permodalan untuk meningkatkan kemampuan usaha produktif masyarakat miskin dan hampir miskin, khususnya para pengusaha mikro dan kecil. Pada tahun 2008, jumlah nasabah KUR (sampai dengan 30 November 2008) sebanyak 1.566.859, nilai kredit yang direalisasikan sebesar Rp. 12.012 triliun dari target sampai Desember 2008 sebesar Rp. 14 triliun dan mencakup 2 juta nasabah. Pada tahun 2008, KUR telah membuka lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada tahun 2009, Pemerintah menambah dana jaminan KUR Rp. 2 triliun, sehingga total jaminan menjadi Rp. 3,4 triliun. Dengan demikian, nilai kredit KUR mencapai Rp. 34 triliun, dengan penambahan jumlah nasabah sebanyak 2 juta nasabah, sehingga total nasabah KUR menjadi 4 juta. Pada tahun anggaran 2009, KUR diperkirakan akan membuka lapangan kerja untuk 6 juta orang. (Ibnu Purna/Yanuar Agung)

Sejak diluncurkan oleh Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 November 2007, jumlah KUR (Kredit Usaha Rakyat) telah mencapai Rp6,8 triliun dengan 672 ribu debitor. Jika dibandingkan dengan jenis kredit lain, maka pertumbuhan KUR yang hampir Rp.1 triliun per bulan merupakan prestasi yang luar biasa.

Tujuan diluncurkannya KUR adalah
(i) Untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM;
(ii) Untuk meningkatkan akses pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi;
(iii) Untuk penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.

Dengan melihat tiga tujuan tersebut, apakah di praktik di lapangan telah sejalan ataukah justru masih terdapat kendala yang signifikan, baik yang dihadapi oleh calon debitor, perbankan, maupun pihak penjamin.

Sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah unit UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia mencapai angka 48,8 juta unit usaha. Namun demikian, dari jumlah tersebut, yang telah memperoleh kredit dari perbankan hanya sekitar 39,06% atau 19,1 juta, sehingga sisanya sejumlah 29,7 juta sama sekali belum tersentuh perbankan. Dari sejumlah 48,8 juta UMKM tersebut ternyata 90 persennya adalah Usaha Mikro yang berbentuk usaha rumah tangga, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, di mana pada skala inilah paling banyak menyerap tenaga kerja (pro job) dan mampu menopang peningkatan taraf hidup masyarakat (pro poor).

Apabila tidak ada upaya khusus dari pemerintah, dikhawatirkan perbankan masih akan menghadapi kesulitan untuk dapat memberikan kredit kepada UMKM karena pada umumnya walaupun UMKM telah feasible namun belum bankable. Perbankan dituntut menerapkan manajemen risiko secara international best practices (Basel 2) yang tidak cocok dengan kondisi UMKM khususnya dan kondisi makro ekonomi Indonesia. Meskipun sebelum tahun 2007, cukup banyak program pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat perkembangan UMKM melalui berbagai jenis kredit perbankansebagaimana tabel 1, namun perkembangan berbagai program tersebut tampaknya belum menarik minat perbankan sehingga dampaknya belum dirasakan secara signifikan oleh para pelaku UMKM di tingkat akar rumput (grass root).

Tabel 1: Berbagai Skim Kredit untuk Mengembangkan Sektor Riil
NO. SKIM KREDIT KETERANGAN
1 KKP-E Pengembangan Tanaman Pangan Mulai tahun 2000, semula KKP
2 KKP-E Pengadaan Pangan Mulai tahun 2000, semula KKP
3 KKP-E Peternakan Mulai tahun 2000, semula KKP
4 KKP-E Tebu Mulai tahun 2000, semula KKP
5 KKPA Kelapa Sawit Mulai tahun 1995
6 Kredit PEMP & Budidaya Ikan/ Rumput Laut Mulai tahun 2005
7 KPEN-RP Kemitraan (Kelapa Sawit) Mulai Desember tahun 2006
8 KPEN-RP Non Kemitraan (Karet & Kakao) Mulai Desember tahun 2006
9 KUMK-SUP Mulai tahun 2004

Mempertimbangkan kondisi tersebut, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No.6 tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM. Akhirnya pada tanggal 5 November 2007, Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan tersebut dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan penjaminan kredit ini diharapkan akan dapat memberikan kemudahan akses yang lebih besar bagi para pelaku UMKM dan Koperasi yang telah feasible namun belum bankable.

Landasan Operasional & Tujuan Kebijakan

Landasan operasional KUR adalah Inpres No.6 tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007 sebagai berikut:

Para Pihak Fungsi
Pemerintah (6 Menteri)
Departemen Keuangan a. Membantu dan mendukung pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan berikut penjaminan kredit/pembiayaannya kepada UMKM dan Koperasi.
b. Mempersiapkan UMKM dan Koperasi yang melakukan usaha produktif yang bersifat individu, kelompok, kemitraan dan/atau cluster untuk dapat dibiayai dengan kredit/pembiayaan.
c. Menetapkan kebijakan dan prioritas bidang usaha yang akan menerima penjaminan kredit/pembiayaan.
d. Melakukan pembinaan dan pendampingn selama masa kredit/pembiayaan.
e. Memfasilitasi hubungan antara UMKM dan Koperasi dengan pihak lainnya seperti perusahaan inti/off taker yang memberikan kontribusi dan dukungan kelancaran usaha.

Departemen Pertanian
Departemen Kehutanan
Departemen Kelautan dan Perikanan
Departemen Perindustrian
Kementerian Negara KUKM
Perbankan (6 bank)
Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri Melakukan penilaian kelayakan usaha dan memutuskan pemberian kredit/pembiayaan sesuai ketentuan yang berlaku
Perusahaan Penjaminan Kredit
PT Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha Memberikan persetujuan penjaminan atas kredit/pembiayaan yang diberikan perbankan sesuai ketentuan asuransi.

Selain itu, di dalam implementasi KUR, perbankan dan pihak perusahaan penjaminan mendasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang mereka sepakati.

Skim Kredit Usaha Rakyat

KUR adalah Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit sampai dengan Rp500 juta yang diberikan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKM-K) yang memiliki usaha produktif yang akan mendapat penjaminan dari Perusahaan Penjamin. UMK & K harus merupakan usaha produktif yang layak2 (feasible), namun belum bankable. KUR mensyaratkan bahwa agunan pokok kredit adalah proyek yang dibiayai. Namun karena agunan tambahan yang dimiliki oleh UMKM-K pada umumnya kurang, maka sebagian di-cover dengan program penjaminan. Besarnya coverage penjaminan maksimal 70 % dari plafond kredit. Sumber dana KUR sepenuhnya berasal dari dana komersial Bank. Pada saat awal diluncurkan pada tanggal 5 November 2007, skim KUR hanya satu jenis yaitu kredit untuk UMKM dengan plafon kredit sampai dengan Rp.500 juta. Namun setelah berjalan beberapa waktu, Presiden R.I mengarahkan agar penyaluran KUR lebih banyak untuk nasabah mikro dengan plafon kredit maksimal Rp. 5 juta. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 2008, dalam acara Rapat Koordinasi Terbatas yang dipimpin oleh Menko Perekonomian berhasil dikeluarkan Addendum I Nota Kesepahaman Bersama tentang pelaksanaan KUR Mikro dan KUR Linkage Program. Ketiga jenis KUR tersebut diterjemahkan oleh salah satu bank pemberi KUR sebagaimana tabel 2, tabel 3, dan tabel 4.

Tabel 3: Persyaratan KUR Mikro s/d Rp.5 juta
Keterangan Persyaratan
Calon Debitur Individu yang melakukan usaha produktif yang layak
Lama Usaha Minimal 6 bulan
Besar Kredit Maksimal Rp. 5 juta
Bentuk Kredit KMK atau KI menurun maksimal 3 tahun
Suku Bunga Efektif maksimal 1,125% flate rate per bulan
Prov & adm Tidak dipungut
Legalitas KTP & KK
Agunan Pokok : baik untuk KUR Modal Kerja maupun KUR Investasi adalah usaha atau tempat usaha yang dibiayai
Proyek yang dibiayai cashflownya mampu memenuhi seluruh kewajiban kepada bank (layak) Tambahan : tidak wajib dipenuhi

Tabel 4: KUR Linkage Program
Keterangan Persyaratan
Calon Debitur BKD, KSP/USP, BMT & LKM Lainnya & tidak mempunyai tunggakan
Lama Usaha Minimal 6 bulan
Besar Kredit - maksimal Rp 500 juta
- Pinjaman BKD, KSP/USP, BMT, LKM ke end user maksimal Rp 5 juta
Jenis Kredit KMK menurun maksimal 3 tahun
Suku Bunga Efektif maksimal 16% pa
Prov & adm Tidak dipungut
Legalitas - AD/ART
- Memiliki ijin usaha dari yang berwenang
- Pengurus aktif
Agunan Pokok : baik untuk KUR Modal Kerja maupun KUR Investasi adalah usaha atau tempat usaha yang dibiayai
Proyek yang dibiayai cashflownya mampu memenuhi seluruh kewajiban kepada bank (layak) Tambahan : tidak wajib dipenuhi

Kemajuan Yang Dicapai KUR

Sejak diluncurkan pada tanggal 5 November 2007, posisi jumlah KUR maupun jumlah debitor KUR terus menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan.
Tabel 5. Realisasi Penyaluran KUR Nasional per Mei 2008
Bank Total Kredit
(Rp Juta) Total Debitor Rata-rata Kredit
Per Debitor Rp juta
BNI 911.871 7.413 123.01
BRI KUR 1.744.547 14.502 120,30
BRI KUR Mikro 2.431.078 610.581 3.98
Mandiri 1.021.640 33.232 30.74
BTN 81.051 470 172,45
Bukopin 430.740 1.686 255,48
BSM 258.485 4.400 58,75
Total 6.879.412 672.284 10,23
Sumber: Kantor Menko Perekonomian, diolah

Bahkan jumlah debitur KUR yang menikmati fasilitas di bawah Rp.5 Juta mencapai kurang lebih 90% dari total penyaluran KUR, sehingga komitmen penyerapan tenaga kerja (pro job) dan penanggulangan kemiskinan (pro poor) lebih terarah.

Jika dilihat dari sektor ekonomi, maka sektor perdagangan adalah yang paling tinggi menyerap KUR, disusul sektor pertanian dan jasa sosial. Di luar ketiga sektor tersebut penyerapan KUR sekitar 3% kebawah (tabel 6).

Tabel 6. Penyerapan KUR per sektor ekonomi
No Sektor
Rp Miliar Persen Debitur Persen
1 Pertanian 1,664 24.181 156,558 23.29
2 Pertambangan 56 0.808 13,139 1.95
3 Industri Pengolahan 171 2.487 1,304 0.19
4 Listrik Gas dan Air 4 0.055 683 0.10
5 Konstruksi 165 2.393 708 0.11
6 Perdagangan, Restoran dan Hotel 4,046 58.807 452,259 67.27
7 Perumahan 0 0.001 2 0.00
8 Pengangkutan, Pergudangan, Komunikasi 68 0.984 3,368 0.50
9 Jasa-jasa Dunia Usaha 200 2.900 3,441 0.51
10 Jasa-Jasa Sosial/ Masyarakat 468 6.809 40,625 6.04
11 Lain-lain 40 0.574 229 0.03
Total 6,879 100.000 672,316 100.00

KUR telah berhasil memberikan akses pembiayaan yang lebih baik kepada UMKM-K, namun di masa mendatang akselerasinya masih perlu ditingkatkan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dievaluasi kendala penyaluran KUR selama ini. Dari inventarisasi di lapangan, beberapa kendala penyaluran KUR antara lain:

• Belum adanya pemahaman yang seragam terhadap skim KUR, baik oleh para petugas bank di lapangan maupun masyarakat, sehingga mungkin saja masih ada beberapa penyimpangan dan persepsi yang keliru tentang KUR, misalnya: tentang ketentuan agunan, persyaratan administrasi, sumber dana KUR, beroperasinya para calo KUR Mikro dsb.
• Pemenuhan tenaga pemasaran KUR tidak bisa dilakukan seketika oleh perbankan namun harus dilakukan secara bertahap. Hal ini terjadi karena pemberian KUR harus dilaksanakan sesuai prinsip kehati-hatian dalam perbankan sehingga diperlukan kompetensi tenaga kerja yang sesuai.
• Adanya perubahan kondisi makro-ekonomi, misalnya: kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, dll yang menyebabkan permintaan kredit menurun.

Penyaluran KUR Terkendala Agunan

Pemerintah mengalokasikan dana sangat besar untuk progam Kredit Usaha Rakyat (KUR), sayangnya serapannya masih rendah. Seperti di Kalteng, dana KUR yang terserap selama 2009 hanya sekitar 2,16 persen. Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Kalteng, Jaya Saputra Silam menyebutkan, alokasi KUR 2009 di Kalteng sebesar Rp 371.502.000.000 namun hanya terserap Rp 8.024.443.200 atau sekitar 2,16 persen. Target debiturnya sebanyak 24.077 namun terealisasi hanya 264 debitur. Jaya mengakui realisasi KUR tahun lalu sangat rendah. Dari laporan di lapangan, kendala yang dihadapi adalah sulitnya mencairkan kredit karena harus ada agunan yang disyaratkan oleh perbankan. "Yang Rp 5 juta saja harus ada agunan oleh perbankan, makanya masyarakat banyak yang terkendala. Masyarakat kita di perdesaan umumnya banyak yang tidak memiliki sertifikat tanah sehingga mereka kesulitan mendapatkan kredit itu," katanya.

Dia berharap, perbankan bisa mempermudah persyaratan pencairan kredit sehingga tidak membebani warga. Khususnya untuk kredit yang nilainya kecil, diusulkan tidak perlu agunan sertifikat, tetapi cukup surat keterangan usaha dari kelurahan. "Perhatian pemerintah sudah sangat besar tapi kendalanya seperti ini. Bank Pembangunan Kalteng termasuk dari 13 bank daerah yang dipercaya ikut menyalurkan KUR nanti," katanya. Jaya menambahkan, pemerintah daerah juga melakukan upaya penguatan permodalan bagi pelaku usaha kecil. Tiap kabupaten/kota diimbau menginvestasikan dana Rp 500 juta sebanyak lima kali setoran untuk pembinaan usaha kecil.

Polemik di Masyarakat soal KUR

Secara berurutan, harian Kompas (6 dan 7 Juni) memuat polemik tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR), di mana para calon nasabah KUR mengeluh karena masih diminta agunan tambahan senilai 30% dari nilai kredit. Padahal sesuai kesepakatan antara pemerintah, perusahaan penjaminan kredit, dan perbankan dijelaskan bahwa nasabah KUR tidak perlu memberikan agunan tambahan. KUR adalah kredit sampai dengan Rp.500 juta yang diberikan oleh beberapa bank yang didukung dengan penjaminan kredit dari PT. Asuransi Kedit Indonesia (Askrindo) dan PT. Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebesar 70% dari nilai kredit, khusus untuk UMKM-K (Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi) yang feasible namun belum bankable.

Jika ditelaah lebih lanjut, timbulnya polemik penyediaan nilai agunan sebesar 30 persen dari nilai kredit sebenarnya disebabkan adanya benturan kepentingan yang berbeda antara pemerintah, perusahaan penjaminan kredit, perbankan, dan debitor. Dari sisi pemerintah, tentu saja penyaluran KUR sebanyak mungkin adalah indikator kunci keberhasilan pemerintah. Dari sisi perusahan penjaminan kredit, penyaluran KUR yang maksimum akan dapat memberikan penerimaan premi penjaminan semakin besar, juga jumlah Non Perfroming Loan (NPL) yang kecil (baca: klaim kredit macet kecil) merupakan indikator kesuksesan program penjaminan. Bagi perbankan, penyaluran KUR yang besar dengan NPL rendah merupakan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan dari sisi debitor, memperoleh kredit dengan mudah dan (kalau perlu) tanpa agunan adalah impian para UMKM-K.

Pertanyaannya, apakah program KUR ini telah dapat mempertemukan kepentingan yang berbeda tersebut. Pemerintah telah memberikan jaminan melalui perusahaan penjaminan 70% dengan harapan perbankan akan lebih berani menyalurkan pinjaman. Namun demikian, jika tujuan pemerintah hanya pada besarnya nilai penyaluran kredit, maka seharusnya nilai penjaminan tidak hanya 70% namun 100%, sehingga tidak ada alasan lagi bagi perbankan untuk menolak permintaan kredit yang diajukan oleh UMKM-K walaupun tanpa adanya agunan tambahan. Jika ini yang dilakukan pemerintah maka UMKM-K dan perbankan akan sangat diuntungkan, namun hal ini akan menimbulkan moral hazard bagi mereka. Bagi perbankan, karena tidak ada risiko maka mereka akan dengan mudah untuk memberikan kredit tanpa adanya pertimbangan yang matang. Sedangkan bagi debitor, karena tidak ada agunan yang diserahkan kepada bank, maka tidak ada risiko jika mereka tidak membayar kewajiban kepada bank. Kalau ini terjadi maka yang akan menderita kerugian adalah perusahan penjaminan karena mereka akan menanggung risiko klaim yang tinggi. Kondisi semacam ini pernah terjadi di era tahun 90-an yang akhirnya menimbulkan kredit macet yang sangat besar di perbankan.

Rasio penjaminan kredit sebesar 70% adalah jalan tengah untuk menyatukan kepentingan semua pihak. Namun demikian, dengan risiko yang ditanggung perbankan masih sebesar 30%, bank wajib untuk memitigasinya. Salah satu cara mitigasi risiko adalah dengan meminta agunan tambahan sebesar 30% dari nilai kredit, khususnya untuk KUR yang mendekati nilai Rp.500 juta. Agunan tambahan ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit proses kredit, namun semata-mata untuk menemukan jalan keluar bagi bank agar tetap dapat membiayai UMKM-K. Apabila menurut analisis, ternyata bank belum yakin dengan kemampuan dan keseriusan debitor untuk mengembalikan kredit, khususnya terkait dengan karakter debitor, maka bank memerlukan semacam “komitmen” dari calon debitor dalam bentuk agunan tambahan. Sebaliknya, apabila bank telah yakin bahwa debitor akan mampu dan serius dalam mengembalikan kreditnya, maka pada umumnya bank tidak ada akan meminta agunan tambahan. Perlu menjadi pemahaman kita bersama bahwa apabila pemberian sebuah kredit menjadi macet, maka tanggung jawab sepenuhnya kembali kepada petugas bank, tentunya setelah mempertimbangan berbagai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Dari uraian tersebut adalah hal yang logis apabila perbankan terpaksa meminta agunan tambahan senilai 30% dari nilai kredit kepada calon nasabah KUR dengan jumlah mendekati Rp.500 juta, karena tindakan bank ini sebenarnya untuk menyelamatkan kepentingan semua pihak. Dengan kebijakan tersebut, akhirnya perbankan masih dapat menyalurkan KUR. Kondisi seperti ini jauh lebih baik daripada perbankan tidak jadi menyalurkan KUR kepada UMKM-K karena adanya ketidakyakinan bank terhadap UMKM-K. Dengan melihat jumlah KUR per akhir Mei 2008 yang telah mencapai Rp.6,8 triliun dengan 673 ribu orang, atau rata-rata pinjaman per nasabah sebesar Rp.10,2 juta, maka ini adalah prestasi yang sangat baik di tengah masih terjadinya polemik soal agunan tambahan.

Sebagai catatan akhir, kasus yang terjadi di lapangan di mana petugas bank terpaksa meminta agunan senilai 30% dari kredit yang diminta calon debitor KUR menurut hemat saya masih dapat ditolerir daripada bank tersebut tidak jadi menyalurkan KUR karena tidak yakin dengan kondisi dan keseriusan debitor. Kalau KUR tidak tersalur, pihak yang akan kehilangan kesempatan adalah UMKM-K juga, karena akhirnya mereka harus bersaing dengan calon debitor lain yang mungkin lebih menarik bagi perbankan untuk membiayai. Sambil melihat perkembangan, lebih bijaksana apabila kita berikan kesempatan kepada perbankan untuk melakukan interaksi dengan UMKM-K calon penerima KUR dengan jumlah mendekati Rp.500 juta, khususnya di area 30 persen risiko dalam rangka mencari solusi terbaik untuk semua pihak.


Saatnya Tekuni Pertanian Antisipasi Krisis I Daya Beli Masyarakat Perdesaan Perlu Ditingkatkan
Indonesia sudah saatnya lebih menekuni sektor pertanian dan peternakan sebagai basis pengembangan sektor riil dalam upaya mengantisipasi meluasnya dampak krisis global. Pemerintah harus menjadi motor dan memfasilitasi pertumbuhan industri yang murah dari kedua sektor itu. Ini bisa menjadi upaya memperkokoh pasar dalam negeri melalui peningkatan daya beli masyarakat sektor pertanian, sekaligus mengurangi kebergantungan pada pasar global yang kini rentan krisis. Demikian rangkuman pendapat sejumlah pengamat dan pelaku ekonomi yang dihimpun Koran Jakarta, Minggu (19/10). Mereka diminta pandangannya mengenai prioritas dan fokus langkah pemerintah untuk membendung efek negatif krisis global terhadap perekonomian domestik. Ekonom CIDES, Umar Juoro, mengatakan pemerintah harus membuat skema kredit yang khusus untuk sektor pertanian. Selama ini, sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, tidak dipernah dilirik oleh perbankan. Apalagi, lanjut dia, penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) selama ini lebih banyak dinikmati pedagang daripada petani sebagai produsen.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Iwantono menambahkan Indonesia tidak boleh sepenuhnya bergantung pada pasar global karena sewaktu-waktu bisa ambruk. Ekspor harus diimbangi dengan orientasi pasar domestik. Karena itu, upaya untuk memperkokoh pasar domestik menjadi sangat penting. “Kita berbeda dengan Singapura atau Taiwan yang negaranya kecil sehingga sepenuhnya bertumpu pada pasar global melalui ekspor. Indonesia negara besar dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa. Potensi pasar dalam negeri sangat besar. Hanya saja daya belinya masih rendah,” jelas dia. Karena itu, menurutnya, harus diambil upaya terobosan untuk meningkatkan daya beli masyarakat lokal, terutama di perdesaan dan sektor pertanian. Pengembangan industri perdesaan berbasis pertanian harus menjadi prioritas.
Pasokan Daging
Di sektor peternakan, menurut Umar Juoro, dalam waktu dekat pemerintah harus bisa menghasilkan produksi daging lokal seimbang dengan daging impor. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus meningkatkan mutu kualitas daging produksi dalam negeri. Menteri Pertanian Anton Apriantono mengaku impor daging sapi tidak akan dikurangi karena kebutuhannya masih tinggi dan tidak bisa dicukupi dari dalam negeri. Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35 persen atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7 persen dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor. Kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan. Sementara itu, peneliti dari IPB Iwan Berri Prima menyarankan pemerintah lebih memperhatikan kualitas hewan yang akan dikonsumsi masyarakat. Langkah pertama adalah meningkatkan mutu ternak lokal. Langkah berikutnya meningkatkan kegiatan peternakan lokal.
Percepat Realisasi
Untuk mengamankan industri tekstil dan produk tekstil, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismi mengatakan rencana pemerintah menggenjot sektor riil sudah bagus. Menurutnya, tinggal realisasinya yang perlu dipercepat. Ia menambahkan hal yang harus diperhatikan adalah fasilitas pembiayaan kredit seperti letter of credit (L/C), baik untuk impor maupun ekspor. Untuk L/C impor, dia mengusulkan jaminan cukup 10 persen, tidak 100 persen seperti sekarang. “Sementara untuk L/C ekspor, uang harus dicairkan ketika barang sudah dikapalkan. Nah, untuk masalah ini, apa Bank Indonesia mau mendukung?” Hal lain, kata Ernovian, soal barang selundupan dari China yang beredar di factory outlet (FO). Untuk mengatasi hal ini, dianjurkan mencatat importir garmen dan teksil yang terdaftar. Selain sektor sandang dan pangan, pemerintah perlu memperhatikan pengembangan sektor papan atau perumahan. Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Teguh Satria berpendapat sektor properti bisa menjadi andalan penopang sektor riil dalam menghadapi krisis. Menurut dia, sektor properti itu mencakup banyak hal, dari industri hulu seperti baja, material, hingga industri hilir seperti alat-alat rumah tangga. Dengan melihat semua itu, sektor properti bisa memberi sumbangan besar bagi perekonomian nasional. Teguh menjelaskan upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendukung sektor properti di antaranya memberikan subsidi bagi sektor perumahan rakyat, seperti program rumah sederhana sehat (RSh) dan rusunami. Dengan kenaikan suku bunga kredit saat ini, langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menaikkan subsidi. Selain itu, perbankan harus memberi dukungan dengan tetap menyalurkan kredit, baik kredit properti maupun kredit kepemilikan rumah (KPR).

KESIMPULAN
Peningkatkan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat, yang secara operasional dilakukan dalam tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Klaster pertama, yakni dengan memberikan bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Klaster kedua, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Klaster ketiga, Program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Dengan mengetahui berbagai kendala penyaluran KUR, maka perlu disusun strategi ke depan agar penyaluran KUR lebih meningkat. Beberapa strategi yang akan dilakukan perbankan untuk mempercepat penyaluran KUR antara lain:
• Melanjutkan sosialisasi bersama, dengan koordinasi oleh Sekretaris Wakil Presiden (Setwapres) dan Menko Perekonomian,
• Melakukan evaluasi dan monitoring bersama Komite Kebijakan dan Departemen terkait setiap bulan,
• Meningkatkan linkage program dalam rangka percepatan penyaluran KUR, khususnya untuk KUR dibawah Rp5 juta,
• Pengembangan produk KUR, dengan fitur asuransi jiwa dan kesehatan,
• Dilakukan keseragaman dalam penyaluran program kredit baik yang melalui PKBL maupun kredit program lainnya.
• Menindaklanjuti program-program dari Departemen terkait anggota Komite Kebijakan,
• Lebih fokus mengarah pada sektor pertanian dalam arti luas.


DAFTAR PUSTAKA

1. 2008, Investor Indonesia
2. 2009, www.banjarmasinpost.co.id
3. 2008, radioabdipersada.com
4. 2009, www.presidensby.info
5. 2009, www.bisnis.com
6. 2008, www.republika.co.id
7. 2009, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Harapan & Tantangan, Djoko Retnadi.
8. 2010, http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 29 March.
9. 2008, Sumber: Koran Jakarta, edisi 20 Oktober .

0 comments: