Tugas Kuliah Non Akademis Smter 4

T U G A S N O N A K A D E M I S J I L I D I
M a k a l a h M a s a l a h E k o n o m i
P e n g a n g g u r a n D i I n d o n e s i a
(Referensi data tahun 1997 – 2007)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester (4) Empat Mata Kuliah Teori Organisasi Umum 2 Oleh,

Nama : Restu Basar Zaini
NPM : 111 086 10

J U R U S A N S I S T E M I N F O R M A S I
F A K U L T A S I L M U K O M P U T E R
U N I V E R S I T A S G U N A D A R M A
B E K A S I
2 0 1 0


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Masalah Ekonomi - Pengangguran di Indonesia” ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Teori Organisasi Umum 2, Bp. Nurhadi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

Bekasi, Februari 2010


Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN.. 3
A. Latar Belakang. 3
B. Rumusan Masalah. 4
C. Tujuan Penulisan. 4
D. Metode Pengumpulan Data. 5
E. Sistematika Penulisan. 5
BAB II 6
PEMBAHASAN.. 6
A. Definisi Pengangguran. 6
B. Masalah Pengangguran di Indonesia. 7
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia. 8
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja. 9
E. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan. 10
F. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi Pengangguran 12
G. Data Pengangguran di Indonesia. 16
BAB III 19
PENUTUP. 19
A. Kesimpulan. 19
B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia. 19
DAFTAR PUSTAKA. 22

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 %. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi 1 %, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 %, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran di Indonesia bertambah.
Inilah data jumlah pengangguran terbuka dari tahun 1997 – 2003 :
1997 pengangguran terbuka 4,18 juta.
1999 pengangguran terbuka 6,03 juta.
2000 pengangguran terbuka 5,81 juta.
2001 pengangguran terbuka 8,005 juta.
2002 pengangguran terbuka 9,13 juta.
2003 pengangguran terbuka 11,35 juta.
Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan :
2001 : usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta).
2002 : usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak diketahui.
Hingga tahun 2002 saja telah banyak pengangguran, apalagi di tahun 2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah dan mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian definisi pengangguran.
2. Masalah – masalah pengangguran di Indonesia.
3. Keadaan pengangguran di Indonesia.
4. Keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja.
5. Pengangguran mengakibatkan kemiskinan.
6. Realisasi Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
7. Sajian data pengangguran di Indonesia.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul ”Masalah Ekonomi - Pengangguran di Indonesia” adalah sebagai berikut :
1. Mengetahu Definisi Pengangguran.
2. Mengetahui berbagai masalah pengangguran di Indonesia.
3. Mengetahui keadaan pengangguran di Indonesia.
4. Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja.
5. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.
6. Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
7. Mengetahui data – data tentang pengangguran.


D. Metode Pengumpulan Data
Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama browsing di Internet, kedua dengan membaca media cetak dan dengan pengetahuan yang penulis miliki.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ”Masalah Ekonomi - Pengangguran di Indonesia” ini disusun dengan urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan
Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari definisi pengangguran, apa masalah pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan angkatan kerja dan keadaan kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan kemiskinan, apa realisasi industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, serta penyajian data pengangguran di indonesia.
Bab III Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan solusi terhadap masalah pengangguran di Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini.

BAB II


PEMBAHASAN


A. Definisi Pengangguran
Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi waktu tertentu, yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti mendapatkan upah atau bekerja mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam arti mempunyai kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut. Selain definisi di atas masih banyak istilah arti definisi pengangguran diantaranya:

Definisi pengangguran menurut Sadono Sukirno :
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya.

Definisi pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak :
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.

Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga kerja :
Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.

Definisi pengangguran menurut Menakertrans :
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.

B. Masalah Pengangguran di Indonesia
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.

Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.

Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya. Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung. Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.

Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), mengingat 70 % penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak. Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran.

Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.

C. Keadaan Pengangguran di Indonesia
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.

D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah. Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 % kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.

Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.

E. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan
Tanggal 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial yang nyaris absolut dan tak terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini, predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian menyebar bak virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan. Lepas dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17 % dari populasi penduduk yang kini telah mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 %) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 %). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 %) pada Februari 2005 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 %) pada Februari 2006. Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini.

Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian, investasi asing digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan pembangunan yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998. Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah menunjukkan, 70 % rakyat kita menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.

Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 % anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana “menganggur” ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik dalam bentuk hibah maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut dipertanyakan. Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi kita dalam melawan kemiskinan. Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan negara untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi sebagai perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah disebut ”nation van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini.

F. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi Pengangguran
Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit mencatat perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan alam, yakni pertanian dan laut. Selepas lima abad, muncullah Republik Indonesia dengan mimpi besar membangun industri maju, tetapi melupakan kemakmuran petani dan nelayan. Berbagai peninggalan candi sebagai bukti kejayaan bangsa berikut reliefnya, seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan kemakmuran masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal Borobudur" yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa lampau dengan lautan luas.

Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri berbasis lokal, yakni pertanian dan kelautan, adalah jawaban mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional. Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara maju, sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis, menghadapi persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di negeri ini, yakni sektor pertanian dan kelautan. Selanjutnya barulah industri lainnya berkembang, tetapi terkait atau berangkat dari pengembangan kedua sektor tersebut.

Pengamat ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati sejarah masa silam tersebut, tentu deportasi massal ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi. "Keberadaan TKI adalah ekses dari kegagalan kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki basis industri intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di sektor intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan pesawat. Alhasil, semuanya gagal dan telanjur menciptakan angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria dan nelayan, tetapi tidak terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini adalah korban kebijakan pembangunan yang kini dikenal sebagai TKI," Faisal menjelaskan.

Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi di China pada dekade 1960-an akibat kebijakan lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah, hingga teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri "melompat" dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Ketika itu, Malaysia dan Thailand konsisten mempelajari agrobisnis di Indonesia serta mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka. Saat sama, Indonesia sempat mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya lebih asyik membuat industri pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh Jepang. Hal serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder kebijakan industrialisasi oleh Park Chung-Hee dalam periode tersebut.

Menurut Faisal Basri, hanya industri baja saja yang dapat dikatakan berhasil ketika itu. Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat kembali mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri dengan kembali ke titik awal, yakni mengukuhkan sektor pertanian - kelautan sebelum menapaki industri teknologi menengah dan teknologi tinggi. Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor padat karya, menghasilkan devisa, dan mendorong industri berbasis sumber daya alam (resource-based industry). Kebijakan tersebut sangat berdasar karena sektor pertanian dan perikanan serta budi daya laut bersifat padat karya (labour intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan berkembang menjadi raksasa ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri, kemudian mengembangkan industri ke skala intensitas menengah hingga teknologi tinggi.

Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea Selatan meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi massal dan usaha jenis tersebut melakukan relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar kondisi riil, daerah yang sebetulnya potensial untuk industri adalah Korea Utara, sedangkan wilayah Korea Selatan adalah sentra pertanian. Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori modernisasi berupa peralihan dari pertanian ke sektor industri dan jasa, justru terjadi gerakan kembali ke desa akibat menyusutnya lapangan kerja di perkotaan. Akan tetapi, tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat rendahnya produktivitas industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir sebagai buruh migran di negeri jiran. Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit membenarkan perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia menekankan, industri manufaktur harus tetap mendapat perhatian. Pasalnya, sektor industri yang masih tersisa ini juga harus diselamatkan karena semakin terpuruk akibat persaingan dan terlebih lagi tekanan produk perundang-undangan pemerintah di tingkat pusat serta daerah.

Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya menggerakkan sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang bersumber dari aturan-aturan mengenai perburuhan. Berbagai peraturan yang ada justru semakin memberatkan dunia usaha. Padahal, pihak pengusaha tengah berusaha mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal.

Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga kerja informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mencapai 68-70 % dari angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh.

Faisal Basri membenarkan pendapat tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan ketenagakerjaan semakin menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia. Sebagai contoh, untuk memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi pengusaha. Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya pajak yang harus ditanggung pabrik olahan mutu jauh lebih besar dibandingkan eksportir mutu mentah. Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi oleh sektor manufaktur.

Direktur Tenaga Kerja dan Analisa Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut dengan mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah tersebut lebih efektif untuk mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga dunia usaha dapat diselamatkan. Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap angkatan kerja secara maksimal. Sasaran utamanya yakni menekan penganggur hingga 5,1 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2009. Akan tetapi, Faisal Basri bersikap pesimistis karena menilai pemerintah tidak serius dalam menangani industri pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam Infrastructure Summit awal tahun ini.

Pembahasan tentang infrastruktur yang dilakukan ternyata tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor pertanian dan kelautan. Yang menjadi perhatian adalah pembangkit listrik, jalan tol, dan pelbagai proyek mercusuar lain.

Proyek yang diusulkan ternyata tidak kompatibel dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor pertanian dan kelautan. Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek dan pabrik besar tanpa menyentuh jejaring infrastruktur pertanian serta kelautan. Faisal Basri menambahkan, salah satu penyebab kebijakan yang tidak menyentuh persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian besar bukanlah negarawan. Mereka hanya memikirkan kepentingan sesaat dengan menyetujui atau mendukung proyek yang hasilnya dapat terlihat semasa jabatan mereka tanpa memikirkan kesinambungan sebuah kebijakan. Apalagi membangun industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan pekerjaan jangka panjang dalam dua atau tiga dasawarsa, seperti dialami Thailand dan Malaysia.

Bukankah istilah gemah ripah loh jinawi sempat dialami waktu itu ketika pertanian dan laut menjadi sumber hidup negeri ini. Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

G. Data Pengangguran di Indonesia
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia
2. Angka Pengangguran Menurut Umur
Pengangguran di Indonesia sudah mencapai 11 juta (usia 15 tahun keatas) dan 8.5 juta-nya penduduk usia 15-29 tahun. Seperti pada Histogram 1 di atas, menunjukan angka pengangguran terbuka (%) menurut umur (15 tahun ke atas, 15-29 tahun dan 30-49 tahun). Terlihat jelas bahwa pengangguran terbuka banyak terjadi di usia remaja 15 sampai 29 tahun (23%). Di usia tersebut banyak sekali lulusan sekolah yang ingin mendapatkan pekerjaan, dari yang baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi termasuk yang tidak sekolah. Sangat masuk akal jika hal ini terjadi. Sedangkan untuk usia 30-49 tahun, jumlah penganggurannya tidak terlalu tinggi (hanya 4%). Angka pengangguran terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun ke atas sekitar 10.4%. Jika kita lihat, ternyata kaum perempuan-lah yang banyak sebagai penganggur terbuka, sekitar 27.6% (usia 15-29 th) atau 13.7% (usia di atas 15 tahun). Hal-hal yang menyebabkan fenomena ini antara lain masih adanya diskriminasi gender, jenis pekerjaan yang tersedia kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut masih perlu dianalisa lebih lanjut.

3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan
Kita semua sudah tahu bahwa sebagian besar pekerjaan tersedia lebih banyak di perkotaan di pedesaan, sekaligus pekerjaan di perkotaan menjajikan lebih banyak pendapatan. Inilah yang menyebabkan pencari kerja berbondong- bondong ke perkotaan yang berakibat angka pengangguran terbuka di kota lebih besar (13.3%) dibandingkan pedesaan (8.4%).
Histogram 2 menunjukan analisa di atas, selain itu yang menarik lagi perempuan penganggur usia 15 tahun lebih di pedesaan hampir sama dengan penganggur laki-laki di kota (waluapun nilainya lebih sedikit dibanding perempuan penganggur di kota). Ini yang mungkin patut dicermati oleh pemerintah yang ingin mengurangi pengangguran. Penciptaan lapangan pekerjaan tidak hanya dilakukan di perkotaan, pedesaan-pun butuh kegiatan-kegiatan yang mendatangkan pendapatan. Terutama lapangan pekerjaan yang bisa memperdayakan perempuan yang ingin bekerja dan penghapusan deskriminasi gender di bidang pekerjaan.
Catatan:
Sumber data berasal dari data mentah SAKERNAS BPS Februari 2006 dan diolah kembali sesuai kebutuhan tulisan ini.

BAB III


PENUTUP


A. Kesimpulan
Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatinkan, banyak sekali terdapat pengangguran di mana-mana. Penyebab pengangguran di Indonesia ialah terdapat pada masalah sumber daya manusia itu sendiri dan tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu program untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan dari pemerintah sebaiknya kita secara pribadi juga harus berusaha memperbaiki kualitas sumber daya kita agar tidak menjadi seorang pengangguran dan menjadi beban pemerintah.

B. Saran Serta Solusi Untuk Masalah Pengangguran di Indonesia
Penganggur berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya. Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin.
Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware),perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga tenaga terampil ( skilled ).
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim.


DAFTAR PUSTAKA

1. 2007,http://www.andisite.com
2. 2007,http://www.datastatistik-indonesia.com
3. 2007,http://www.dephan.go.id
4. 2007,http://www.google.co.id
5. 2007,http://id.wikipedia.co.id
6. 2007,http://www.instruments.worldpress.com
7. 2007,http://www.suarapembaruan.com
8. 2007,http://www.tempointeraktif.com
9. 2007,http://scribd.com.masalahpenganggurandiIndonesia.pdf

0 comments: